Seorang Wanita yang Ingin Menulis Film Ghibli
Aku lupa film Ghibli mana yang pertama kali aku tonton. Mungkin Spirited Away atau Howl’s Moving Castle. Tapi yang aku ingat adalah perasaan setelahnya—seolah-olah dunia bisa berjalan pelan, dan kesedihan tak lagi terasa terburu-buru.
Ada sesuatu dalam film-film itu yang menyentuhku. Karakter perempuannya jarang bicara banyak, tapi mereka punya dunia dalam diri mereka. Kadang aku merasa mereka adalah versi fiksi dari diriku sendiri—yang lebih tenang, lebih berani berjalan pelan, tapi punya banyak hal yang ingin disampaikan, dengan cara yang sederhana dan lembut.
Sejak itu, aku mulai menonton satu demi satu. Dan entah sejak kapan, aku mulai bertanya-tanya: “Kalau aku bisa menulis filmku sendiri…seperti apa film Ghibli versiku?”
Mungkin judulnya Letters from the Quiet Train. Ceritanya tentang seorang perempuan bernama Umi Tsukino. Dia 25 tahun. Pendiam. Lembut. Setiap hari dia naik kereta yang sama, duduk di kursi dekat jendela, dan membaca buku yang sama berulang-ulang. Bekerja di kantor keuangan, pulang sebelum matahari tenggelam. Tidak ada yang istimewa… dari luar.
Tapi di tas kainnya, ada jurnal kecil. Berisi surat-surat yang tidak pernah dikirim. Untuk seseorang yang pernah mengisi hatinya, untuk masa lalu yang belum selesai, dan untuk dirinya sendiri yang masih mencoba memaafkan.
Hingga suatu hari, dia menemukan buku kecil tertinggal di kursi kereta. Isinya sederhana—catatan perjalanan seseorang yang sedang mencari “rumah.” Bukan rumah yang bisa disentuh, tapi rumah dalam bentuk rasa. Rasa aman, rasa diterima, rasa tidak perlu menjelaskan siapa dirinya.
Setiap hari, Umi membaca buku itu lagi. Dan lagi. Halaman-halamannya terasa hidup. Seperti mengenal isi kepalanya. Dan entah bagaimana, buku itu mengubah cara ia melihat dirinya sendiri.
Surat-surat yang ia tulis pun mulai berbeda.
Lebih jujur.
Lebih tenang.
Lebih menerima.
Dan pada akhirnya, ia mengerti: rumah yang ia cari… tidak pernah jauh. Rumah itu adalah dirinya sendiri, saat ia berhenti menghindar dari luka, dan mulai menulis dengan tenang.
Aku tahu film ini mungkin tidak akan pernah dibuat. Tapi membayangkannya saja membuatku tenang. Membayangkan sebuah dunia di mana tidak apa-apa menjadi lembut, tidak apa-apa menjadi sunyi, dan tidak apa-apa belum benar-benar sembuh.
Mungkin karena di dunia nyata, aku juga sedang belajar menulis surat untuk diriku sendiri. Dan berharap suatu hari nanti,
aku juga bisa pulang ke tempat yang paling mengerti diriku—tanpa harus mengubah siapa aku.